Kejati Sumut Hentikan Penuntutan 2 Kasus Perkara Pencurian Dengan Pendekatan Keadilan Restoratif
Medan | Radar Bhayangkara Indonesia
Dua perkara pencurian, masing -masing dari Kejari Tapanuli Utara dan Kejari Binjai dihentikan penuntutan perkaranya dengan pendekatan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice (RJ) oleh Jampidum Kejagung RI setelah sebelumnya dilakukan ekspose oleh Kajati Sumut Idianto, SH, MH yang diwakili Wakajati Sumut Drs. Joko Purwanto, SH, Aspidum Luhur Istighfar, SH, MH, Kasi TP Oharda Zainal, SH, MH serta Kasi lainnya dari ruang vicon lantai 2 kantor Kejati Sumut
Ekspose perkara disampaikam kepada Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Dr. Fadil Zumhana yang diwakili Direktur TP Oharda pada JAM Pidum Agnes Triani, SH,MH, Koordinator pada JAM Pidum dan pejabat lainnya. Ekspose perkara juga diikuti secara daring oleh Kajari Taput dan Kajari Binjai serta JPU perkaranya.
Kajati Sumut Idianto melalui Kasi Penkum Yos A Tarigan, SH,MH menyampaikan bahwa hingga Agustus 2023, Kejati Sumut sudah menghentikan 76 perkara dengan pendekatan keadilan restoratif.
Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan bahwa perkara yang dihentikan penuntutannya adalah berasal dari Kejari Taput dengan tersangka Benny Manurung yang sehari-hari bekerja mengumpulkan barang bekas mencuri handphone milik Juida Monalisa Hutasoit. Tersangka dijerat Pasal 362 dari KUHP “Barangsiapa mengambil sesuatu barang, yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang lain, dengan maksud akan memiliki barang itu dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 900,-“
Perkara kedua berasal dari Kejari Binjai dengan tersangka Linda Br Siallagan menggelapkan dan menjual sepeda motor saudaranya sendiri, Roslelly Siallagan. Tersangka dikenai Pasal 372 KUHP atau Kedua Pasal 376 KUHP.
Dua perkara ini disetujui JAM Pidum untuk dihentikan penuntutannya berdasarkan Perja No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif, artinya di antar tersangka dan korban tidak ada lagi dendam dan telah membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula.
“Penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini lebih kepada esensinya, kenapa seseorang itu melakukan tindak pidana, dan pelaku tindak pidana menyesali perbuatannya dan menyampaikan permohonan maaf kepada korbannya. Dalam proses perdamaian, korban juga memaafkan pelaku yang berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” kata Yos A Tarigan.
Upaya perohonan maaf dan saling memaafkan ini, lanjut Yos telah membuka ruang bagi keduanya untuk tidak ada lagi dendam di kemudian hari.(Sembiring/Fwk)