Kritik Keras Wacana Pemekaran Provinsi Cirebon, “Langkahi Realitas, Abaikan Ketimpangan di Akar”

CIREBON, Radar BI-Wacana pemekaran Provinsi Cirebon yang kembali dilontarkan oleh tokoh nasional Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.Sc. memicu perdebatan publik di kawasan Pantura Jawa Barat. Dalam pernyataannya, Rokhmin menyebut bahwa pemekaran provinsi merupakan kebutuhan strategis untuk mempercepat pembangunan wilayah serta pemerataan ekonomi. Namun, pernyataan ini justru menuai kritik tajam dari dari aktivis, R. Hamzaiya, S.Hum.
R. Hamzaiya mengungkapkan bahwa dorongan terhadap pembentukan provinsi baru terlalu prematur dan berisiko besar mengalihkan perhatian publik dari persoalan paling krusial, yaitu ketimpangan pembangunan di tingkat kabupaten, khususnya di wilayah Cirebon Timur yang hingga kini belum tersentuh secara layak oleh kebijakan pusat daerah.
“Apa gunanya kita bicara tentang provinsi baru jika jalan-jalan di desa-desa Cirebon Timur masih berlubang, RSUD belum layak, pendidikan tersendat, dan pelayanan publik macet? Itu bukan solusi, tapi pelarian,” ujar Hamzaiya lantang di hadapan peserta forum.
Menurutnya, pemekaran provinsi tanpa penyelesaian struktural di tingkat kabupaten hanya akan memperbesar struktur birokrasi tanpa jaminan efisiensi dan pelayanan. Ia mencontohkan bagaimana perjuangan masyarakat Cirebon Timur untuk membentuk kabupaten sendiri sudah berlangsung lebih dari dua dekade, disertai naskah akademik, pemetaan wilayah, dan berbagai tahapan administratif. Namun hingga kini, belum juga memperoleh respon konkret dari pusat.
“Cirebon Timur sudah punya dasar kuat: kajian sosial, dukungan masyarakat, dan bukti disparitas yang akut. Tapi justru yang melonjak adalah isu Provinsi Cirebon yang belum punya fondasi administratif sama sekali. Ini terbalik logikanya,” jelasnya.
Hamzaiya juga menyoroti pendekatan yang digunakan oleh sebagian tokoh elite, termasuk Rokhmin Dahuri, yang dianggap terlalu top-down dan elitis. Ia menilai bahwa narasi pemekaran provinsi kerap disampaikan dalam forum-forum nasional dan media massa, namun tidak disertai dengan dialog partisipatif bersama rakyat di tingkat akar rumput.
“Narasi pemekaran ini seperti pembangunan menara gading—indah dari jauh, tapi rapuh di dasar. Kalau masyarakat akar hanya dijadikan objek politik dan bukan subjek perubahan, maka pemekaran itu hanya akan menjadi panggung elite, bukan solusi rakyat,” tambahnya.
Dalam rilis pernyataannya, Hamzaiya menegaskan bahwa energi politik masyarakat jangan sampai tersedot oleh isu-isu besar yang belum tentu berdampak langsung. Baginya, memperjuangkan pemekaran kabupaten seperti Cirebon Timur adalah perjuangan konkret yang realistis dan sudah melalui proses panjang, dibanding proyek provinsi yang masih berupa wacana tanpa kajian teknokratis terbuka.
Ia juga mengingatkan soal konsekuensi anggaran dan tumpang tindih administrasi apabila provinsi dibentuk tanpa kesiapan struktural. “Jangan hanya demi kebanggaan identitas, kita mengorbankan anggaran rakyat untuk membiayai gedung gubernur baru, lembaga baru, staf baru, sementara desa-desa kita masih kekurangan air bersih,” ujarnya serius.
Lebih lanjut, Hamzaiya juga menyayangkan kurangnya perhatian terhadap substansi persoalan yang dihadapi warga, seperti penumpukan penduduk di desa-desa pesisir, urbanisasi tak terkendali, serta dominasi pembangunan yang hanya menyentuh wilayah inti.
“Wacana provinsi sering kali dijual dengan bahasa besar: akselerasi, pemerataan, pembangunan strategis. Tapi pertanyaannya: siapa yang paling diuntungkan? Apakah warga di pinggiran Ciledug, Losari, atau justru para elite politik baru yang sudah antre kursi jabatan,” sindirnya.
Sebagai penutup, Hamzaiya mengajak seluruh elemen masyarakat untuk tidak terbawa arus popularitas wacana provinsi, dan kembali memperkuat fondasi gerakan dari bawah, terutama dengan mempercepat realisasi pemekaran kabupaten yang telah melalui proses konstitusional.
“Jangan tertipu oleh glamornya peta politik. Kita harus bijak membaca prioritas. Kita belum butuh provinsi baru, kita butuh perhatian yang nyata bagi daerah yang selama ini ditinggalkan. Kalau ingin adil, mulailah dari memperkuat kabupaten-kabupaten yang terpinggirkan,” tutup Hamzaiya.@Yudhi