Jadi Dosen Tamu, Aspidsus Dr. Iwan Ginting Paparkan Pasal Tindak Pidana Korupsi Dalam KUHP Baru

Jadi Dosen Tamu, Aspidsus Dr. Iwan Ginting Paparkan Pasal Tindak Pidana Korupsi Dalam KUHP Baru

Medan | Radarnews

Asisten Bidang Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejati Sumut) Dr. Iwan Ginting,SH,MH yang juga Ketua Panitia Dies Natalis 70 Tahun Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara menjadi dosen tamu dalam kuliah umum Fakultas Hukum USU di Aula FH USU.

Sebelum menyampaikan materi tentang ‘Tindak Pidana Baru dan Tindak Pidana Khusus Dalam KUHP Baru’, Dekan Fakultas Hukum USU Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum yang didampingi salah seorang dosen Dr. Affila, SH,M.Hum menyampaikan bahwa alumni mengajar adalah salah satu bagian dari rangkaian acara Dies Natalis FH USU yang ke-70. Ada juga bakti sosial, pengabdian masyarakat dan pertandingan olahraga.

“Alumni mengajar ini adalah upaya kita untuk mengenalkan para alumni FH USU yang sudah bekerja dan tersebar di seluruh Indonesia. Mulai dari menteri, jaksa, hakim, pejabat pemerintah dan pengacara. Alumni mengajar ini kita harapkan dapat memotivasi mahasiswa bahwa senior mereka yang dulu kuliah di FH USU ternyata bisa berhasil,” tandasnya.

Kehadiran Aspidsus Kejati Sumut Dr Iwan Ginting ke kampus USU, lanjut Mahmul Siregar kiranya dapat memotivasi mahasiswa bahwa alumni USU bisa menjadi pejabat tertentu di Kejaksaan RI. “Jadi jangan berkecil hati, kita bisa menjadi apa pun kalau kita benar-benar mau bersungguh-sungguh,” katanya.

Dengan dipandu dosen FH USU Rini Andriani, SH,MH, mantan Kejari Jakarta Barat Dr. Iwan Ginting memulai materinya tentang tindak pidana baru dan mengajak seratusan mahasiswa yang ikut kuliah umum untuk memberikan pendapatnya masing-masing terkait tindak pidana baru tersebut.

“Setiap mahasiswa yang ada di ruang kuliah ini bebas memberikan pendapatnya, sedikit berdebat agar mahasiswa bisa lebih menguasai dan memahami sejauh mana tindak pidana baru tersebut memberi dampak terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia,” kata Iwan Ginting.

Tindak pidana baru yang sama sekali baru, lanjut Iwan GInting adalah kohabitasi Pasal 412, penyesatan terhadap proses peradilan Pasal 278, mengganggu dan merintangi proses peradilan Pasal 280, dan hubungan seksual dengan hewan Pasal 337 Ayat (1) huruf b. Kemudian, tindak pidana yang diambil dari luar KUHP lama; UU 24/2009, UU 7/2011, UU 11/2008, UU 40/2008, UU 23/2004, UU 36/2009, UU 23/2002, UU 21/2007. UU 44/2008 dan UU 6/2011.

Saat Iwan Ginting melempar isu terkait kohabitasi, beberapa mahasiswa langsung memberikan tanggapannya. Dan rata-rata dari mahasiswa yang memberi pendapat menolak yang namanya ‘kumpul kebo’ karena tidak diikat dengan pernikahan.

Dimana, dalam KUHP “Baru” soal ini diatur dalam pasal 412. Adapun isi lengkap Pasal 412 KUHP:
(1) Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
(2) Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

Perdebatan dan pemberian pendapat juga sangat beragam terkait dengan penanganan tindak pidana korupsi di negeri ini.

Ada yang berpendapat bahwa undang-undang baru melemahkan fungsi lembaga penegak hukum dan ada juga mahasiswa yang memberikan pendapat berbeda.

“Sebenarnya, dalam upaya penanganan tindak pidana korupsi di negeri ini, masing-masing lembaga penegak hukum sudah memiliki UU sendiri, SOP dan tata kelola penangan perkaranya masing-masing. Jadi, pada prinsipnya penanganan perkara tindak pidana korupsi itu kewenangannya ada pada lembaga masing-masing,” kata Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH,MH saat diminta narasumber untuk memberikan masukannya.

Lebih lanjut Yos A Tarigan menyampaikan, perbedaan pandangan, pendapat, dan pemahaman tidak hanya terjadi kepada APH.

Jauh sebelum UU KUHP disahkan, perbedaan ini bahkan sudah dimulai, yaitu antara pihak yang mendukung dengan pihak yang menentang UU KUHP. Perbedaan ini antara lain meliputi pengaturan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), pidana mati, dan tindak pidana khusus.

“Untuk itu, penyamaan pandangan dan pemahaman APH menjadi penting karena penegak hukum yang akan menjadi ujung tombak dalam mengimplementasikan KUHP,” tegas Yos A Tarigan.
Kemudian menjadi tambahan, Berdasarkan putusan MK yang dibacakan Selasa 16 Januari 2024 lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan Kejaksaan Republik Indonesia tetap memiliki kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan perkara dugaan korupsi. Pasalnya, sesuai ketentuan hukum memberi kewenangan penyidikan korupsi kepada Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kuliah umum yang lebih mengedepankan pola diskusi dua arah dan memberikan kesempatan kepada mahasiswa dalam berpendapat menjadikan suasana kuliah umum di FH USU lebih hidup dan bermakna.

Di akhir perkuliahan, Iwan Ginting yang juga pernah menjadi Kajari Langkat dan Humbang Hasundutan memotivasi mahasiswa agar rajin belajar, asah terus kemampuan dalam memberikan pendapat dan gali potensi diri agar kelak memiliki bekal terbaik untuk mewujudkan cita-citanya.(Sembiring)

RADAR NEWS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.