Pengawasan Pasca-Rehabilitasi di Indonesia

LRPPN-BI, BANYUWANGI -Belajar dari kasus SH (34) tahun, yang melakukan bunuh diri secara gantung diri, pada Jum’at (21/3/2025) pasca-rehabilitasi, dimana berdasarkan data yang bersangkutan melakukan rehabilitasi karena ketergantungan obat selama 2 (dua) bulan lantas dijemput keluarganya.
Jadi korban hanya sampai mengikuti program rehabilitasi medis (deteksifikasi) untuk mengurangi putus zat (sakau) belum masuk program non medis untuk pemulihan mental dan Re-Entry (Bina Lanjut) proses ini merupakan transisi bagi pengguna narkoba untuk kembali kemasyarakat.
Maka oleh karena itu Pasca-rehabilitasi adalah fase yang sangat penting bagi mantan pengguna narkotika atau obat-obatan terlarang, karena risiko relapse (kambuh) dan gangguan mental masih cukup tinggi. Di Indonesia, pengawasan pasca-rehabilitasi biasanya melibatkan beberapa pihak:
1. Tanggung Jawab Lembaga Rehabilitasi
Follow-up / Aftercare Program: Beberapa lembaga seperti IPWL atau LRPPN memiliki program lanjutan setelah klien keluar dari rehabilitasi, berupa konseling berkala, terapi kelompok (support group), dan pemantauan kondisi mental.
Namun, program aftercare ini tidak wajib secara hukum, dan biasanya sifatnya hanya rekomendasi.
2. Peran Keluarga dan Lingkungan Sosial
Keluarga adalah garda terdepan dalam mendukung pemulihan pasca-rehabilitasi. Mereka berperan memantau perilaku, mendukung secara emosional, dan memastikan mantan pengguna tidak kembali ke lingkungan atau kebiasaan lama.
Lembaga hanya bisa menyarankan keluarga agar lebih aktif, tapi tidak bisa mengawasi langsung mantan klien yang sudah pulang.
3. Koordinasi dengan BNN atau Puskesmas atau IPWL
Dalam beberapa kasus, khususnya yang direkomendasikan oleh BNN (Badan Narkotika Nasional), mantan pengguna bisa dimasukkan dalam program rehabilitasi rawat jalan di Puskesmas atau fasilitas kesehatan lain termasuk di LRPPN.
Program ini bertujuan untuk menjaga kondisi mental dan memastikan tidak ada ketergantungan berulang.
4. Tidak Ada Pengawasan Wajib Hukum
Setelah rehabilitasi selesai dan dinyatakan “clean” oleh lembaga terkait, tidak ada ketentuan hukum yang mewajibkan pengawasan ketat oleh lembaga atau negara terhadap mantan pengguna.
Pengawasan hanya dilakukan jika individu tersebut adalah bagian dari kasus hukum yang masih berjalan (misalnya sebagai bagian dari putusan pengadilan).
“Kelemahan Sistem Pasca-Rehabilitasi
Minimnya kontrol lanjutan membuat banyak mantan pengguna rentan terhadap gangguan mental seperti depresi, kecemasan, atau stres berat.
Tidak semua keluarga siap secara psikologis dan ekonomi untuk menjadi pendamping pasca-rehabilitasi.
Aftercare sering kali tidak diikuti karena keterbatasan dana atau rendahnya kesadaran pentingnya pemantauan berkelanjutan.
“Apakah Negara Bisa Turut Bertanggung Jawab?
Secara formal, tidak langsung. Negara melalui BNN atau Kementerian Sosial dsn Kesehatan hanya bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan program rehabilitasi, tetapi pengawasan penuh kembali kepada individu dan keluarga pasca keluar dari lembaga rehabilitasi.
Divisi Hukum LRPPN-BI -Banyuwangi
H. Agus Dwi Hariyanto.SH.MH